Senin, 02 Desember 2013

SEJARAH

sejarah sunan cipancar GARUT

Ulama dan Tokoh Penyebar IslamMembicarakan sejarah Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab. Limbangan yang merupakan cikal bakal pembentukannya. Peran serta kaum ulama yang menyebarkan Islam hingga mewarnai corak kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah pentingnya. Tak heran, sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki sebagai Kota Ulama, karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina masyarakat Garut.

Salah satu tokoh ulama sekaligus umara yang perannya tak bisa diabaikan pada masa awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa Barat, khususnya Garut, adalah Sunan Cipancar. Selain eksis dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan tokoh yang menurunkan keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum kemudian dengan alasan politis, Limbangan dipindahkan dan berubah menjadi Kab. Garut.

Karena itulah, tak salah jika masyarakat Garut menziarahi makam Sunan Cipancar di Kp. Pasir Astana, Desa Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu penting selain sekadar berdoa dan memberikan penghormatan atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam, juga untuk menelisik kembali alur sejarah Kab. Garut, termasuk pesan-pesan moral yang diamanatkan para leluhur masyarakat Garut sendiri, dalam menata bangunan kehidupan masyarakatnya. Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Layakusumah. Prabu Liman Senjaya diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I alias Sunan Cipancar.

Akan tetapi literatur lain menjelaskan, yang disebut sebagai Wijayakusumah (I) adalah kakeknya Sunan Cipancar, yaitu Sunan Rumenggong. Kab. Limbangan semula merupakan sebuah kerajaan daerah bawahan Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran bernama Kerajaan Kertarahayu, yang didirikan Sunan Rumenggong di kawasan Gunung Poronggol Limbangan sekitar 1415 M. Sunan Rumenggong bernama asli Jayakusumah/Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten Rakean Layaran Wangi/Jaya Permana/Gagak Rancang.

Sumber lain menyebutkan, Layakusumah mempunyai tiga anak dari Ambot Kasih, yaitu Hande Limansenjaya Kusumah; saudara kembarnya, Hande Limansenjaya; dan adiknya, Wastudewa. Hande Limansenjaya Kusumah berputra Jayakusumah/Panggung Pakuan Wijaya Kusumah/Wijayakusumah (II)/Limansenjaya Kusumah, yang belakangan disebut Sunan Cipancar.

Namun nama Limbangan saat ini tinggal berupa sebuah wilayah kecamatan, yang ditambahi kata Balubur di depannya menjadi Kec. Balubur Limbangan. Berbeda dengan makam tokoh penyebar Islam lainnya di Garut yang mendapatkan cukup perhatian pemerintah, makam Sunan Cipancar terkesan terabaikan. Padahal makam tersebut termasuk situs cagar budaya yang memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dari aspek arkeologi, jirat dan nisan makam masih memiliki keaslian sebagai tradisi peninggalan megalit. Baru beberapa tahun belakangan saja makam keramat tersebut mendapat perhatian dengan mendapatkan bantuan penataan lingkungan makam.

Seperti halnya makam keramat lainnya di Garut, makam Sunan Cipancar juga kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Sebagai tata krama, para santri yang ada di kawasan Balubur Limbangan dan sekitarnya, bahkan sering memulai perjalanan ziarah dari makam Sunan Cipancar. Sebelum kemudian berziarah ke makam Mbah Wali Syekh Ja’far Shiddiq Cibiuk dan sejumlah makam keramat lainnya. Puncak kunjungan ziarah biasanya terjadi pada bulan Mulud.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar